Papua: Negara, Nasionalisme dan Kapital Multinasional

 

“Saya tidak bisa membayangkan bahwa pemerintah Amerika, Belanda, Jepang atau Australia mempertaruhkan […] hubungan mereka dengan Indonesia hanya karena alasan prinsipil demi orang-orang yang sangat primitif dan jumlahnya relatif sedikit.” –  ujar seorang diplomat rasis Inggris pada tahun 1968.

Semenjak berakhirnya pendudukan kolonial Hindia Belanda di tahun 1949, Papua Barat merupakan wilayah tarik-menarik pengaruh antara rezim nasionalisme ekspansionis Soekarno dan Amerika di awal era perang dingin, yang disusul oleh pendudukan rezim brutal Soeharto yang merupakan sekutu kepentingan ekonomi dan politik Amerika. Di luar kedua pihak tersebut, beberapa negara lain (Australia, Uni Soviet, Belanda, Inggris) dan PBB juga memberikan pengaruhnya untuk menentukan nasib wilayah dan masyarakat Papua Barat.

Dengan dibentuknya Komisi PBB untuk Indonesia pada tahun 1949, dan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar, pergolakan untuk mendominasi Papua Barat dimulai oleh Indonesia. Sepanjang dekade 1950-1960, terjadi negosiasi antara rezim kolonial Belanda dan negara pascakolonial, Indonesia, yang merupakan rezim Jawa yang sentralis. Rezim kapitalis Blok Barat Australia, Belanda dan Inggris juga mulai mempengaruhi konflik dominasi terhadap Papua Barat, yang ingin menghadang pengaruh rezim Soekarno yang terpengaruh oleh rezim Bolshevik Uni Soviet, kekuatan internasional sentralis yang membangun satelit-satelit kekuatan politik sosialisme otoriternya di berbagai wilayah dunia, terutama di wilayah-wilayah bekas jajahan kolonialisme.

Sejak tahun 1957, rezim Soekarno Indonesia, memulai serangakaian kampanye agresif dan aksi militer untuk mengonsolidasikan klaim kekuasaan teritori Indonesia pada Papua Barat. Pada puncak ambisi ekspansionisnya, dari tahun 1961-1963, rezim Soekarno membelanjakan sekitar 2 triliun dolar AS (sekitar setengah dari anggaran negara) untuk peralataan militer. Uni Soviet merupakan pendukung utama persenjataan dalam operasi ekspansionisme Soekarno di Papua Barat, dengan kepentingan untuk membangun satelit-satelit sosialis otoriter.

Ekspansionisme Soekarno yang didukung oleh rezim Bolshevik Uni Soviet merupakan perintis dominasi Papua Barat oleh Indonesia paska kolonial, yang selanjutnya mulai mendapat tantangan dari rezim kapitalis barat pada era awal Perang Dingin.

Amerika memulai keterlibatan aktifnya dalam isu Papua Barat pada era pemerintahan Kennedy (1961). Di tahun 1962, Amerika menginisiasi solusi diplomatis untuk menengahi konflik Indonesia dan Belanda dalam isu Papua Barat yang menghasilkan Resolusi PBB Nomor 1752 (dikenal sebagai Perjanjian New York), yang bagian terpentingnya adalah ketetapan mengenai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) bagi rakyat Papua Barat. “Penentuan pendapat” yang dilaksanakan pada tahun 1969 ini mengawali represi rezim Orde Baru/Soeharto dan kapital internasional (khususnya Amerika) sampai jatuhnya rezim tersebut hingga sekarang, yang dalam hampir empat dekade menerapkan kekerasan dan perampasan dalam skala yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan dianggap genosida.[1]

Perjanjian Rahasia Roma, tepat seminggu setelah ditetapkannya Perjanjian New York, memuat beberapa butir keputusan – yang paling utama adalah tentang kemungkinan pembatalan atau penundaan PEPERA; Perjanjian tersebut juga memfasilitasi masuknya kapital melalui butir-butir yang “mewajibkan” Amerika untuk: (1) menanam modal melalui badan usaha di Indonesia dalam bidang eksplorasi mineral dan sumber daya alam, (2) menjamin pinjaman Bank Pembangunan Asia sebagai dana pembangunan PBB di Papua Barat sebesar 30 juta dolar AS untuk jangka waktu 25 tahun, (3) menjamin Indonesia melalui Bank Dunia dengan sejumlah dana untuk melaksanakan transmigrasi dalam rangka penempatan orang-orang Indonesia di Papua Barat, terhitung sejak tahun 1977.

Di tahun akhir 1965, selang dua bulan setelah kudeta berdarah September, perusahaan tambang Amerika, Freeport McMoran menjajaki invetasi tambang tembaga di Papua Barat. Selang dua tahun kemudian, pemerintah Indonesia melengkapi infrastruktur legalnya sebagai wilayah untuk perkembangan kapital dan mengintegrasikan Indonesia ke dalam kepentingan-kepentingan blok kapitalis internasional dengan mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing PEPERA kemudian dilaksanakan pada tahun 1969, tetapi hanya dengan melibatkan sekitar atau bahkan kurang dari 1% populasi Papua Barat yang dipilih oleh pihak Indonesia, dan dengan pendekatan kekerasan, digiring untuk memilih integrasi dengan Indonesia.

Integrasi Papua Barat ke dalam teritori kekuasaan Indonesia memulai suatu era kelam bagi masyarakat di wilayah tersebut. Berbagai sumber memperkirakan jumlah orang yang dibunuh dan dihilangkan berkisar dari ribuan hingga puluhan, bahkan ratusan ribu.[2]

Rezim militeristik Orde Baru yang tidak bisa dipungkiri masih utuh hingga saat ini melancarkan operasi militer, pengontrolan militeristik terhadap populasi Papua Barat dan meminggirkannya secara ekonomi, politik dan sosial—yang hampir seluruhnya terjalin erat dengan kepentingan kapital multinasional dan dengan dukungan diplomatis, modal dan militer dari negara-negara blok kapitalis barat. Pembunuhan ekstra-yudisial, penyiksaan fisik, pemerkosaan, teror mental, diskriminasi rasial, penghinaan terhadap kebudayaan Papua Barat terjadi seiring dengan perampasan lahan dan sumber daya alam dan perusakan lingkungan dan sumber-sumber mata pencarian.

 

Kekerasan Negara, Negara-bangsa dan Kapital Multinasional

Seperti yang dikatakan oleh seorang diplomat Indonesia bahwa Papua Barat adalah ‘hal yang harus dipertahankan bahkan dengan mengorbankan nyawanya’. Pada realitanya, seperti kata Jason MacLeod, Papua Barat menjadi ‘hal yang harus dikorbankan olehnya’.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia telah membebaskan masyarakat yang terjajah oleh rezim kolonial. Namun, sifat progresif dari perjuangan kemerdekaan nasional hanya terjadi dalam konfliknya vis-a-vis rezim kolonial. Namun, setelah itu, kekuatan Negara-bangsa menjadi kekuasaan yang mengendalikan dan menindas populasi di dalam teritorinya. Negara-negara paska kolonial di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, seperti Indonesia, hampir semuanya berkembang menjadi rezim-rezim despotik dan super korup. Visi-visi tentang Negara-bangsa yang akan menciptakan kebebasan dan masyarakat egaliter di wilayah-wilayah paska kolonial hanya menjadi ilusi, seiring dengan pemapanan Negara-bangsa, yang pada intinya adalah pemapanan kekuasaan segelintir elit (perwakilan) terhadap mayoritas (populasi yang diwakilinya).

Sementara itu, relasi dominan dan subordinat dalam relasi kekuasaan kapitalisme global tetap berlanjut setelah era kolonialisme berakhir. Negara-negara bekas teritori kolonial tetap berperan sebagai wilayah-wilayah subordinat vis-a-vis negara-negara dominan.

Terbentuknya negara-negara paska kolonial merupakan perluasan modernisasi kapitalis, setelah sebelumnya kolonialisme mengintegrasikan wilayah-wilayah kolonial dalam jaringan kapitalisme global—dengan menundukkan rezim-rezim feodal dan membangun wilayah-wilayah tersebut sebagai penyangga sektor-sektor industri ekstraktif dan agrikultur.

Hubungan dominan-subordinat dalam relasi kekuasaan global yang sempat diinterupsi oleh perjuangan-perjuangan anti-kolonialisme kembali pada titik keseimbangnnya. Paska perjuangan kemerdekaan nasional, institusi dan aparatus Negara-bangsa paska kolonial menjadi fasilitator bagi aktor-aktor kapital dari negara-negara dominan untuk mengakses teritori, sumber daya dan populasi di wilayah-wilayah tersebut. Negara-bangsa paska kolonial menjalankan fungsinya sebagai fasilitator modernisasi kapital, khususnya dalam era developmentalisme, yang di dalamnya terjadi perluasan infrastruktur untuk kegiatan-kegiatan industrial, intensifikasi ekstraksi sumber daya alam, pendisiplinan populasi menjadi sumber daya manusia dan perkembangan pasar bagi komoditas.

Negara-bangsa Indonesia, melalui represi fisik dan mental terhadap populasi di dalam teritorinya, menjalankan perannya dalam menciptakan iklim investasi bagi kapital multinasional, terutama sejak naiknya rezim militeristik Orde Baru. Penciptaan iklim investasi yang diawali dengan pengorbanan jutaan jiwa, selanjutnya dimapankan dengan berkuasanya rezim Orde Baru. UU Penanaman Modal Asing diberlakukan dua tahun setelah pembantaian September 1965, sebagai kerangka legal yang menjamin keamanan investasi dan pemberian konsesi-konsesi pada kapital multinasional. Negara-bangsa ini menjalankan peran subordinatnya, untuk memfasilitasi kapital multinasional, sebagai penjaga kapital dan mediasi antara kapital dan populasi lokal.

Negara-bangsa Indonesia dan kapital multinasional membangun jalinan ekplotasi brutal terhadap populasi dan lingkungan di wilayah Papua Barat. Kapital multinasional yang melakukan investasinya di wilayah yang begitu kaya akan sumber daya alam ini menempatkan negara Indonesia sebagai pendisplin populasi yang bergejolak.

Operasi militer di tanah Papua Barat dimulai secara de facto pada permulaan pendudukan Indonesia atas Papua Barat pada tahun 1963 dan berlaku makin represif ketika Papua Barat secara de jure menjadi DOM (Daerah Operasi Militer) yang paling lama di Indonesia, selama 20 tahun dari tahun 1978 hingga tanggal 5 Oktober 1998 (20 tahun). Sementara itu, “peresmian” aneksasi Papua Barat melalui PEPERA merupakan proses yang diatur oleh kekerasan negara (berlangsung dua tahun setelah Freeport McMoRan, kapital multinasional terbesar di Papua Barat beroperasi). PEPERA, menurut beberapa diplomat, merupakan proses jajak pendapat yang dipenuhi oleh ancaman kekerasan dan pembunuhan terhadap wakil-wakil yang memilih opsi kemerdekaan untuk Papua Barat.[3]

Di Papua Barat, militer mempunyai kepentingan yang sangat besar dalam ekstraksi sumber daya alam, melalui keterlibatan langsungnya dalam industri kayu, perikanan dan pertambangan serta dana-dana dari industri ekstraksi yang dibayarkan sebagai uang pengamanan.

Benih-benih konflik antara kepentingan negara dan kapital dan hak-hak hidup masyarakat pribumi Amungme di Tembagapura dan Komora di Mimika, berawal pada tahun 1967, ketika PT. Freeport Indonesia (PTFI), yang merupakan joint-venture antara Freeport McMoRan dan Rio Tinto, menandatangani Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia. Kontrak Karya yang disusun oleh PTFI memberikan korporasi tersebut dengan lingkup kekuasaan yang besar terhadap masyarakat pribumi dan sumber daya alamnya—yang termasuk kekuasaan untuk mengakses tanah dan merelokasi masyarakat, sekaligus penghilangan akses masyarakat pribumi untuk menuntut atau menolak beragam kegiatan dan pengambilalihan operasi PTFI.

Selama beberapa dekade, operasi pertambangan PTFI di Papua Barat tidak dapat dipisahkan dari hubungannya dengan militer Indonesia. Hubungan kapital dan institusi dan aparatus kekerasan tersebut telah menimbulkan banyak korban dalam konflik-konflik antara kepentingan masyarakat dan korporasi.

PTFI telah memberikan beragam fasilitas, logistik, akses pada infrastrukturnya dan pembayaran finansial kepada militer Indonesia. Sebuah laporan yang dipresentasikan dalam Konfrensi Internasional Tentara Dalam Bisnis, mencatat pembayaran yang dilakukan PTFI di antaranya berjumlah 35 juta dolar AS—dan itu diluar pembayaran tahunan sebesar 11 juta dolar AS. Komisi Hak Asasi Manusia, pada bulan September 1995, menyatakan terjadinya pelanggaran HAM yang jelas dan dapat diidentifikasi di dalam dan sekitar wilayah operasi PTFI, yang mencakup pembunuhan, penyiksaan, perlakuan yang tidak manusiawi atau perendahan, penangkapan yang tidak legal, penghilangan orang, penahanan yang tidak sah, pengawasan yang belebihan dan perusakan properti – yang secara langsung terkait dengan militer Indonesia yang menjadi pengaman bisnis tambang PTFI.

Kekerasan negara atau yang difasilitasi oleh negara, dan yang melibatkan kapital multinasional juga meliputi salah satu sektor industri terbesar di Papua Barat, yaitu industri kayu dan kertas. Pengambilalihan lahan masyarakat kerap terjadi di Papua Barat oleh investasi-investasi di sektor tersebut. Pada tahun 1982, beberapa koran melaporakan kerja dengan upah rendah yang diterapkan pada masyarakat Asmat oleh industri kayu dengan melibatkan aparat desa. Militer Indonesia di Tiga Danau juga dilaporkan terlibat dalam skema-skema kerja paksa dalam ektraksi kayu. Menurut aktivis TELAPAK, militer di Papua Barat dinilai sebagai salah satu pihak kunci yang terlibat dalam ektraksi kayu ilegal di wilayah tersebut.[4]

Semenjak jatuhnya rezim Soeharto dan melemahnya Orde Baru, pengamanan terhadap kapital oleh militer telah mengalami perubahan pola, yang di dalamnya militer mengurangi keterlibatannya secara langsung untuk kemudian melibatkan taktik pembangunan milisi-milisi sipil untuk meredam potensi-potensi konflik terhadap kepentingan kapital.

Di beberapa wilayah seperti di Sorong dan Fak-Fak, Laskar Jihad dan milisi nasionalis digunakan untuk mengacaukan situasi dalam rangka mendiskreditkan perlawanan yang diorganisir oleh masyarakat terhadap penguasa dan kapital.

Skema rekayasa konflik yang diterapkan militer mengambil pola yang diterapkan juga di di Timor Leste. Milisi-milisi dibentuk untuk meningkatkan intensitas konflik yang bertujuan sebagai pembenaran atas agresi terhadap gerakan perlawanan dan beretugas membersihkannya. Kemunculan kelompok-kelompok milisi Merah Putih di Papua Barat dan peran Kolonel Burhanuddin Siagian, (tertuduh sebagai aktor kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Leste pada panel khusus di Dili) sebagai Komandan KOREM 172 Papua Barat, mengindikasikan kemungkinan repetisi pola-pola pembersihan seperti di Timor Leste.

Rekayasa konflik ini juga digunakan untuk mempertajam sentimen nasionalisme Indonesia, dan memberikan stigma kepada segala bentuk perlawanan sebagai anti-Indonesia. Sentimen nasionalis tersebut digunakan untuk melegitimasi tindakan-tindakan militer di mata publik Indonesia. Selain itu, penggunaan kelompok-kelompok milisi juga bertujuan untuk menghindari sorotan pelanggaran HAM secara langsung pada militer Indonesia.

 

Genosida? Kekerasan Negara & Rasialisme

Nasionalisme Indonesia, seperti nasionalisme di bekas wilayah-wilayah kolonial, mendasari klaim teritorialnya pada teritori pemerintahan kolonial yang berkuasa sebelum kemerdekaan nasional. Anggapan bahwa segalanya yang merupakan peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda harus menjadi kedaulatan nasional Indonesia merupakan konsepsi teritorial Indonesia.

Bangsa, meminjam istilah Benedict Anderson, adalah konsepsi tentang “komunitas yang dibayangkan”, yang di dalamnya anggota sebuah bangsa membentuk komunitas bukan melalui interaksi fisik, tapi melalui pembayangan mental tentang kesamaan-kesamaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang saling membayangkan tersebut. Di sini nasionalisme Indonesia mengangankan kelompok-kelompok masyarakat yang saling membayangkan diri dalam suatu komunitas Indonesia yang mungkin berdasarkan pembayangan kesamaan yang senasib-sepenanggungan selama penjajahan kolonial Belanda, walaupun, seperti yang kita ketahui, tidak seluruh wilayah teritori Indonesia sekarang mengalami rentang masa penjajahan kolonial yang sama. Bahkan, sebagian dari wilayah tersebut hampir tidak pernah terjajah.

Konsepsi ala Anderson dipertanyakan: Siapa yang berhak membayangkan bangsa? Apakah konsekuensi dari pembayangan yang dilakukan oleh segelintir kelompok masyarakat dari kelompok (etnis) tertentu, yang ternyata mencakup banyak kelompok masyarakat lainnya? Pembayangan tentang Indonesia, pencetusan tentang Indonesia sendiri sebagian besar diartikulasikan oleh segelintir orang dari kelompok etnis Jawa dan Melayu (khususnya merujuk pada populasi di pulau Sumatera dan sekitarnya).

Pendudukan Indonesia di Papua Barat selama lebih dari 40 tahun telah meyingkirkan ratusan ribu penduduk Papua Barat, melalui pembunuhan, penghilangan dan penciptaan kondisi represif yang memaksa orang untuk meninggalkan wilayah asalnya. Bagi sebagian pihak, skala pelanggaran HAM di Papua Barat tersebut dinilai sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan; bahkan sebagian pihak lagi menilainya sebagai genosida. Lebih jauh lagi, beragam bentuk intervensi pemerintah Indonesia juga telah menimbulkan korban jiwa secara tidak langsung, termasuk relokasi penduduk secara paksa, perusakan terhadap lahan-lahan yang mensuplai kebutuhan pangan dan dugaan penyebaran penyakit (cysticercosis), atau tidak adanya usaha serius dan memadai dari pemerintah untuk menangani wabah yang banyak memakan korban jiwa tersebut.

Berbagai kebijakan pemerintah Indonesia di bidang keamanan, politik dan sosial di Papua Barat bertujuan untuk meminggirkan akses politik dan ekonomi masyarakat di sana dan melenyapkan identitas aslinya, yang menjadi penghalang bagi operasi kekuasaan elit politik dan akses ekonomi aktor-aktor kapital multinasional.

Peminggiran akses politik masyarakat Papua Barat dan penghilangan identitas Papua Barat secara sistematis dilakukan beberapa tahun sebelum diselenggarakannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969. Untuk memastikan keberhasilan aneksasi Papua Barat ke dalam teritori Indonesia, sejak tahun 1963, pemerintah Indonesia mulai melakukan intervensi-intervensi untuk menghilangkan identitas Papua Barat, dengan pelarangan penyanyian lagu nasional Papua Barat, dan pengibaran bendera Bintang Kejora melalui dekrit presiden—ketentuan legal yang kemudian diterapkan secara lentur untuk mengait-ngaitkan beragam ekspresi lainnya sebagai hal yang subversif.

PEPERA yang diklaim sebagai usaha untuk memfasilitasi masyarakat Papua Barat untuk menentukan pilihannya sendiri ironisnya tidak melibatkan satu pun elemen masyarakat Papua Barat. Proses PEPERA bahkan tidak memberlakukan sistem satu orang-satu suara, dengan alasan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Papua Barat. Di sisi lain, kebijakan rasialis Indonesia dalam PEPERA, juga didukung oleh kondisi politik internasional yang rasis, seperti yang tercermin dari pernyataan seorang diplomat Inggris pada tahun 1968 yang mengatakan:

“Saya tidak bisa membayangkan bahwa pemerintah Amerika, Belanda, Jepang atau Australia mempertaruhkan […] hubungan mereka dengan Indonesia hanya karena alasan prinsipil demi orang-orang yang sangat primitif dan jumlahnya relatif sedikit.

Salah satu kebijakan rasialis yang memarjinalkan masyarakat Papua Barat adalah program transmigrasi Orde Baru pada pertengahan 1980-an, yang diimplementasikan atas prinsip asimilasi untuk melenyapkan etnis Papua Barat dengan memfasilitasi perpindahan orang-orang dari luar (Papua Barat) “yang lebih beradab” ke Papua Barat. Mochtar Kusumaatmadja, seorang menteri pada rezim Orde Baru, mengatakan bahwa transmigrasi mungkin merupakan satu-satunya cara untuk membawa masyarakat zaman batu yang primitif ke dalam arus utama pembangunan Indonesia. Dalam kebijakan transmigrasinya, pemerintah bukan hanya tidak melakukan konsultasi dengan masyarakat Papua Barat, tapi juga mengambil alih lahan-lahan dari para pemilik tradisionalnya dan mengusir paksa penduduk lokal dalam ‘Operasi Sapu Bersih’ (1981). Slogan militer yang terkenal pada saat berlangsungnya operasi tersebut adalah, “Biarkan tikus lari ke hutan, agar ayam-ayam bisa berkembang biak di kandangnya”. Lahan-lahan yang diambil alih untuk para transmigran juga banyak yang diperoleh dengan penipuan dan ancaman terhadap pemiliknya.[5] Bank Dunia juga telah mengucurkan dananya sebesar 650 juta dolar AS untuk program transmigrasi pemerintah Indonesia.

Selain transmigrasi yang dilakukan sebagai salah satu proyek rasialis untuk ‘memperadabkan’ masyarakat Papua Barat, proyek rasialis lainnya adalah Proyek Pembinaan Masyarakat Terasing yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia di Papua Barat. Proyek yang menjadi bagian kebijakan rasialis lainnya ini secara konsisten ingin menanamkan stigma pada masyarakat Papua Barat bahwa mereka adalah orang-orang yang inferior.

Realita ini justru merupakan kebalikan dari klaim perbaikan kondisi masyarakat. Proyek-proyek ‘pemeradaban’ ini malah memperburuk kondisi masyarakat Papua Barat. Peradaban yang dibawa oleh pemerintah Indonesia ini menghilangkan lahan produktif (yang dirampas), berkembangnya penyakit-penyakit yang sebagian berkembang dalam skala epidemik dan bencana lingkungan (yang mencemari sumber-sumber pangan, yang merusak atau menghancurkan sumber-sumber tersebut)—akibat-akibat yang secara langsung atau tidak langsung berimbas negatif pada kelangsungan hidup orang Papua Barat. Buruknya layanan kesehatan pemerintah yang beradab bagi masyarakat ‘tidak beradab’ ini juga berkontribusi pada makin buruknya kondisi masyarakat Papua Barat.

Proyek-proyek ‘pemeradaban’ tersebut, khususnya transmigrasi, bagi sebagian pihak dipandang sebagai intervensi yang jelas merupakan penciptaan kondisi kehidupan yang diperhitungkan untuk menghancurkan masyarakat Papua Barat. Pemerintah Indonesia tentunya mengetahui bahwa kebijakan-kebijakan ‘pemeradabannya’ tersebut akan berakibat pada pemusnahan fisik dan kultural masyarakat pribumi Papua Barat.

 

*Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Jurnal Affinitas dan Tim Katalis, lalu disunting ulang oleh Kontra-Media.

**Catatan penulisan:

[1] Lowenstein, The West Papuan Case -Human Rights Abuses di situs Free West Papua, 2003.

[2] ibid.

[3] J. Saltford, The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1989: The Anatomy of Betrayal, London, Routledge, 2003.

[4] Environment News Service, Febuari 2005.

[5] Lowenstein, The West Papuan Case -Human Rights Abuses di situs Free West Papua, 2003.