MELAMPAUI ORGANISASI INTRAKAMPUS

 

“Jika kamu berpikir kamu terlalu kecil
untuk membuat sebuah perubahan,
cobalah tidur di ruangan dengan
seekor nyamuk.” -Dalai Lama

Organisasi mahasiswa adalah salah satu pilihan untuk mengembangkan kreativitas ketika memasuki jenjang pendidikan tinggi. Organisasi mahasiswa memiliki banyak ragam dan varian. Namun umumnya dibagi menjadi dua kategori. Pertama, organisasi mahasiswa intrakampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Kedua, ada juga organisasi mahasiswa ekstrakampus (Ormek) seperti HMI, PMII, GMNI dan masih banyak lagi. Tulisan kami kali ini akan lebih berfokus kepada organisasi mahasiswa intrakampus. Sedangkan untuk Ormek, kami mungkin akan membahasnya di lain kesempatan. Tulisan ini merupakan opini sekaligus kumpulan keresahan-keresahan terhadap organisasi mahasiswa intrakampus yang sampai hari ini tidak pernah melampaui apapun, melainkan hanya mengambang di atas spektakel-spektakel
menjijikkan tentang idealisme mahasiswa. Atau dalam kadar yang tak kalah rendahnya, hanya mereproduksi individu yang bermental budak (ressentiment).

Tulisan ini tentunya berdasarkan pada pengalaman yang kami alami di organisasi mahasiswa intrakampus. Pengalaman yang kami anggap tidak secara khusus hanya terjadi di lingkungan kampus kami.

Budaya Senioritas

Dalam kampus, kita mengenal istilah biner “senior dan junior”. Istilah yang mengarah pada penegasan akan identitas berdasarkan strata yang dibangun oleh mahasiswa sendiri. Bahwa “senior” berarti ‘mahasiswa yang lebih dahulu eksis di kampus maupun organisasi’, dan karena dia lebih dahulu eksis, maka segala bentuk kehormatan secara otomatis melekat padanya. Sebaliknya, “junior” berarti ‘mahasiswa yang baru eksis di kampus maupun organisasi’, dan karena dia lebih baru eksis, maka dia dianggap lebih rendah derajatnya dari senior. Bahwa alibi yang sering kali mereka pakai, seperti, “mahasiswa baru (junior) belum tahu apa-apa dibanding senior”; “junior mentalnya belum terasah”; dll. sama sekali tidak layak dipertimbangkan, karena memang tidak berdasar.

Apakah ada perbedaan mendasar antara senior dan junior? Bagi kami semua hanya perihal tahun masuk, tidak lebih dari itu. Bicara tentang pengetahuan? Belum tentu. Karena akses pengetahuan yang terbuka, pengetahuan yang dimiliki seseorang akan menjadi sangat relatif, walaupun itu tentang pengetahuan kejuruan yang dianggap hanya akan didapatkan di pendidikan formal seperti perguruan tinggi. Lantas apa yang luar biasa? Coba logikanya dibalik, kalian (junior) yang lebih dulu masuk di kampus dan para bedebah (senior) ini masuk belakangan. Tetap tak ada yang berubah selain tanggal masuk ke perguruan tinggi.

Tidak ada siapapun yang bisa membuat kalian menjadi pelajar yang bewawasan dan kritis— sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh senior kalian—selain hanya diri kalian sendiri. Para bedebah itu tidak bisa mencetak kalian menjadi individu kritis yang merdeka. Mengapa? Karena ketika kalian menjadi individu yang kritis dan merdeka, itu ibarat mereka sedang memberikan pisau yang akan kalian gunakan untuk membunuh mereka.

Sialnya, budaya senioritas ini direproduksi terus menerus oleh organisasi intrakampus melalui pengaderan yang mereka lakukan setiap tahun.

Bagi kami, budaya senioritas tidak lebih dari manifestasi “mental budak” mahasiswa, warisan dari nilai-nilai kolonialisme. Para mahasiswa yang sebenarnya tidak berdaya melawan segala bentuk otoritas (kampus, negara, keluarga, agama, pemodal) yang mengekang mereka, kemudian membuat satu sistem nilai (senioritas) dan memanifestasikannya pada organisasi dan relasi sosial yang juga mereka buat sendiri. Analogi sederhananya, para pengecut ini takut melawan otoritas di luar mereka, lalu membuat satu bentuk otoritas baru, sehingga mereka bisa seenaknya menang dalam ring yang mereka buat sendiri.

Budaya senioritas juga secara inheren memicu hadirnya penokohan dan pengultusan senior dalam organisasi intrakampus yang akan berujung pada otoritarianisme, yang mana, pola pikir para junior dipaksa harus seragam, seolah otaknya digerakkan oleh para senior, sehingga para junor tidak mampu untuk berpikir mandiri. Contohnya, dalam rapat-rapat organisasi, kesepakatan rapat terkadang harus dibatalkan atau berubah menjadi hasil yang berbeda hanya karena kemauan dari sang senior. Alih-alih membuat mahasiswa bisa berpikir bebas, berkreativitas serta bertindak, pengultusan terhadap senior ini akan membuat organisasi menjadi monoton karena tidak mampu menghadirkan kritik-otokritik di dalamnya. Masih ingat Pasal-Pasal Senior?

Senior tidak pernah salah.
Senior selalu benar.
Jika senior salah, tinjau kembali pasal pertama.
Lelopo!

Titik kritik kami tidak hanya sampai pada budaya senioritas melainkan sampai pada eksistensi organisasi yang merupakan tempat menampung para bedebah itu. Tetapi faktanya banyak segelintir orang masih percaya dan melegitimasi keberadaan dua paket komplet tersebut, itulah yang membuatnya kokoh. Bagi kami tak ada yang bisa dilakukan selain melenyapkan keduanya (senioritas dan organisasi).

“Mahasiswa adalah budak-budak yang sabar: di mana semakin banyak rantai otoritas mengikat mereka, semakin mereka merasa bebas. Seperti juga keluarga baru mereka, universitas, mereka menganggap diri mereka sebagai makhluk yang paling “independen”, di mana pada kenyataannya mereka secara langsung dan sukarela bersikap patuh pada dua sistem otoritas sosial yang terkuat: keluarga dan negara. Mahasiswa adalah anak yang patuh dan penurut. Mengikuti logika anak penurut, mereka membagi segala nilai-nilai dan mistifikasi sistem, serta mengonsentrasikannya ke dalam diri mereka sendiri. Ilusi-ilusi yang sebenarnya diperuntukkan bagi pencekokkan para pekerja kerah putih sekarang justru dengan sukarela diinternalisasikan dan ditransmisikan oleh dan bagi calon kader-kader rendahan di masa datang.” -Mustapha Khayati (Situationist International) dan Mahasiswa-Mahasiswa di
Strasbourg, November 1966.

Sektarian dan Eksklusif

Organisasi intrakampus pada umumnya banyak yang bersifat sektarian dan eksklusif. Kita bisa melihat bentuk sektarian dan ekslusifitas organisasi intrakampus pada pengaderan yang mereka laksanakan setiap tahun. Pengaderan tersebut penuh dengan indoktrinasi tentang kebanggaan yang
berlebihan pada identitas organisasi mereka (identitas jurusan, fakultas, kampus, UKM). Maka kita tak jarang menemukan mahasiswa baru yang tidak ikut organisasi akan dikucilkan, sementara yang ikut organisasi mendapatkan perlakuan istimewa. Hal yang bertentangan dengan slogan slogan yang selalu mereka umbar tentang kesetaraan untuk semua orang. Juga, tak jarang kita menemukan tawuran antarkelompok mahasiswa yang dipicu dari kebanggaan akan identitas palsu masing-masing
dari mereka.

Dari produk organisasi inilah, kami melihat adanya kontradiksi. Bagaimana di setiap tahun ajaran baru, mereka para bedebah ini dengan lantang menyuarakan sumpah sampah atas ketidakadilan dan penindasan. Namun, mereka secara sadar menjadi penindas di tempat yang katanya dihuni oleh individu yang maha- (ya, maha-penindas).

Seperti menciptakan labirin, mereka justru tersesat di labirin yang mereka ciptakan sendiri, inilah mengapa kata “maha-” yang dipadankan dengan “siswa” serta ide (pembebasan) yang melekat “Mahasiswa adalah budak-budak yang sabar: di mana semakin banyak rantai otoritas mengikat mereka, semakin mereka merasa bebas. Seperti juga keluarga baru mereka, universitas, mereka menganggap diri mereka sebagai makhluk yang paling “independen”, di mana pada kenyataannya mereka secara langsung dan sukarela bersikap patuh pada dua sistem otoritas sosial yang terkuat: keluarga dan negara. Mahasiswa adalah anak yang patuh dan penurut. Mengikuti logika anak penurut, mereka membagi segala nilai-nilai dan mistifikasi sistem, serta mengonsentrasikannya ke dalam diri mereka sendiri. Ilusi-ilusi yang sebenarnya diperuntukkan bagi pencekokkan para pekerja kerah putih sekarang justru dengan sukarela diinternalisasikan dan ditransmisikan oleh dan bagi calon kader-kader
rendahan di masa datang.” Mustapha Khayati (Situationist International) dan Mahasiswa-Mahasiswa di Strasbourg, November 1966
padanya, merupakan narasi yang sangat konyol. Kritik bahkan cemoohan layak didapatkan atas label “maha-” pada “siswa”. Layaknya sebuah ideologi, konsep “mahasiswa” akan selalu gagal dan menyesatkan.

Kesesatan ini bisa kita telusuri dengan fragmentasi yang diciptakan oleh mahasiswa sendiri, mereka saling memandang dirinya tidak terhubung antarsatu dengan lainnya, sehingga akan berujung pada keterasingan dengan masalah-masalah sosial yang mereka anggap sedang mereka perjuangkan.

Lebih jauh, tak hanya soal antarkelompok mahasiswa, tapi bagaimana ekslusifitas dan sektarianisme membuat mahasiswa teralienasi dari masyarakat umum. Seolah mahasiswa adalah kelompok individu yang mempunyai masalah yang berbeda dengan masyarakat umum. Mereka mahasiswa, abai melihat bahwa kita semua masih hidup dalam tatanan mapan bernama negara dan kapitalisme.

“Dalam periode di mana semakin banyak anak-anak muda yang semakin
berusaha membebaskan diri dari prasangka moral dan otoritas keluarga, sebagaimana yang mereka jadikan subyek secara blak-blakan, secara terangterangan mengeksploitasi masa muda mereka, mahasiswa justru berpegang teguh pada sikapnya yang tak bertanggung jawab dan larut pada sikap kekanak-kanakan mereka yang berlarut-larut. Krisis remaja yang datang terlambat cenderung menjauhkan mereka dari keluarga, tapi mereka justru tanpa mengeluh menerima diperlakukan seperti seorang bayi saat berbagai institusi mengendalikan kehidupan sehari-hari mereka. (Apabila institusiinstitusi tersebut sekali waktu berhenti mengencingi wajah para mahasiswa tersebut, hal tersebut justru membuat para mahasiswa merasa terganggu).” -Mustapha Khayati (Situationist International) dan Mahasiswa-Mahasiswa di Strasbourg, November 1966.

Budaya Kekerasan

Salah satu hal yang paling menjijikkan di dalam organisasi intrakampus adalah awetnya budaya kekerasan. “Kekerasan” yang kami maksud bukan hanya sebatas pada kekerasan fisik dan verbal yang sudah mendarah daging menjadi perpoloncoan dalam setiap pengaderan, tetapi juga kekerasan yang “tersamarkan” melalui model-model relasi sosial yang hierarkis, dominatif dan koersif. Dalam organisasi intrakampus, kekerasan seringkali muncul sebagai bagian dari metode pengaderan mahasiswa baru. Praktik kekerasan
yang diterapkan bisa bermacam-macam: mulai dari menggunduli
kepala- “Dalam periode di mana semakin banyak anak-anak muda yang semakin berusaha membebaskan diri dari prasangka moral dan otoritas keluarga, sebagaimana yang mereka jadikan subyek secara blak-blakan, secara terangterangan mengeksploitasi masa muda mereka, mahasiswa justru berpegang teguh pada sikapnya yang tak bertanggung jawab dan larut pada sikap kekanak-kanakan mereka yang berlarut-larut. Krisis remaja yang datang terlambat cenderung menjauhkan mereka dari keluarga, tapi mereka justru tanpa mengeluh menerima diperlakukan seperti seorang bayi saat berbagai institusi mengendalikan kehidupan sehari-hari mereka. (Apabila institusiinstitusi tersebut sekali waktu berhenti mengencingi wajah para mahasiswa tersebut, hal tersebut justru membuat para mahasiswa merasa terganggu).” Mustapha Khayati (Situationist International) dan Mahasiswa-Mahasiswa di Strasbourg, November 1966 mahasiswa baru; menyeragamkan pakaian; memaki dan mencemooh; manipulasi; memukul; hingga korupsi dana kegiatan orientasi mahasiswa baru. Alasannya sama sekali tak masuk akal dan tak sepadan, yakni untuk membentuk mental, karakter, serta solidaritas mahasiswa baru sebagai kader dan penerus organisasi.

Bagaikan dukun-dukun mental dan polisi moral, para mahasiswa senior, melegitimasi kekerasan institusional, kekerasan struktural maupun kekerasan langsung yang hasilnya hanya untuk memuaskan hasrat kepengecutan mereka.

“Lahir di organisasi, besar di organisasi dan siap mati untuk organisasi”
Luji!

Karena kekerasan dalam organisasi intrakampus merupakan sesuatu yang sudah mendarah daging, maka sangat sulit untuk sekadar direduksi. Bagi kami, caranya hanyalah dengan menghapusnya. Apakah ada cara lain menghadapi daging yang busuk selain dengan membuangnya?

Miniatur Cacat dari Negara

“Para mahasiswa sejauh ini sebagaimana saat ini, mendefinisikan diri mereka sendiri dengan sebuah nilai palsu yang menghalangi mereka untuk sadar akan kekurangannya, dan hasilnya mereka tetap berada di puncak kesadaran palsu. Tetapi di manapun juga, di mana masyarakat modern mulai diserang, anak-anak muda selalu mengambil bagian dalam penyerangan ini; dan pemberontakan ini merepresentasikan sebuah kritik yang langsung dan tak tanggung-tanggung atas kebiasaan mahasiswa.” -Mustapha Khayati (Situationist International) dan Mahasiswa-Mahasiswa di Strasbourg, November 1966.

Mahasiswa mau tak mau harus mengamini bahwa organisasi intrakampus layaknya miniatur cacat dari negara, yang setidaknya, walaupun lembaga lembaganya (baca: organisasi intrakampus) tak selengkap layaknya negara, tapi tetap bersifat permanen, sentralistik dan mereproduksi watak negara yang selalu berusaha menjaga status quo.

Ekistensi organisasi intrakampus bagi kami tidak lebih dari upaya pereduksian potensi individuindividu mahasiswa, pengalienasian mahasiswa dari masalah sosialnya, separasi mahasiswa dari lingkungan sosialnya, dan reproduksi dari relasi sosial yang diproduksi oleh negara dan kapitalisme. Apa yang diharapkan dari sekumpulan mahasiswa yang hanya memikirkan untuk menghabiskan dana kemahasiswaan dari kampus? Apa yang harus disegani dari para pengecut yang bermental budak?

Apa yang harus dipertimbangkan dari orang-orang yang merasa hebat dalam tempurung yang bernama kampus?

Di bagian akhir tulisan ini, kami tidak ingin menawarkan apapun. Melampaui organisasi intrakampus bagi kami adalah penghapusan organisasi intrakampus itu sendir serta segala nilai yang melekat padanya. Poin kritik kami bukan pada menihilkan organisasi, terutama organisasi yang berbentuk asosiasi bebas antarindividu yang merdeka. Langkah selanjutnya, tanya pada diri kalian sendiri, sebab kalianlah aktor utamanya. Terakhir, kebebasan tidak diberikan, kebebasan harus direbut!

“Beberapa organisasi harus menekankan kritik radikal atas seluruh fondasi masyarakat yang mereka perangi, antara lain: produksi komoditi, ideologi dalam segala penyamarannya, negara dan separasi yang dihasilkannya.”
-Mustapha Khayati (Situationist International) dan Mahasiswa-Mahasiswa di Strasbourg, November 1996.

*Referensi:
On the Poverty of Student Life (Kemiskinan Mahasiswa), Mustapha Khayati (Situationist International) dan Mahasiswa-Mahasiswa di Strasbourg, November 1996, http://www.bopsecrets.org/SI/poverty.htm 

Artikel ini dimuat ulang dari Kolektif Anti-Otoritarian Gorontalo (KONGA).